![]() |
| LATIF SAFRUDDIN SEKJEN FORUM BPD KLATEN SELATAN PEGIAT MEDSOS DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT |
Dana aspirasi — yang kerap disebut pokok-pokok pikiran (pokir) atau dana reses — idealnya adalah perpanjangan tangan demokrasi: sarana anggota DPRD menyerap kebutuhan konstituen dan menyalurkannya ke dalam perencanaan pembangunan daerah. Nyatanya, di banyak daerah ia berubah menjadi ladang praktik yang merusak: mark-up, alih-fungsi pengadaan, hingga skema “uang siluman”. Lalu, siapa yang harus diminta mempertanggungjawabkan? Jawabannya: semuanya — tapi dengan bobot dosa berbeda. Untuk membongkar masalah ini kita harus melihat aturan, praktik, dan kasus nyata.
Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 menegaskan pokir sebagai bagian dari proses perencanaan daerah: pokir wajib dicatat dan menjadi bahan pertimbangan penyusunan RKPD/APBD. Namun aturan normatif itu tidak otomatis menjamin akuntabilitas teknis atau mencegah penyalahgunaan bila implementasinya longgar. Ketika pokir hanya masuk sebagai angka di dokumen tanpa risalah reses yang jelas, tanpa verifikasi teknis Bappeda, atau tanpa publikasi, ruang penyimpangan terbuka lebar.
Salah satu alat yang semestinya menambal risiko ini adalah SIPD — Sistem Informasi Pembangunan Daerah — yang mewajibkan penginputan usulan pokir agar tersinkronisasi dengan rencana kerja OPD. Tapi pada banyak kasus, kewajiban input pada sistem hanya jadi formalitas: usulan tidak diverifikasi secara teknis, tidak diikuti analisis manfaat, dan akhirnya “direalisasikan” melalui jalur pengadaan yang lemah pengawasannya. Singkatnya: ada aturan digital, tapi tata kelola manusianya tidak berubah.
Lihatlah bukti di lapangan. Laporan BPK daerah mencatat temuan penggunaan dana reses yang bermasalah — termasuk pengembalian dana ke kas negara karena ketidaksesuaian pertanggungjawaban. Di Nusa Tenggara Timur (TTU) misalnya, lebih dari satu miliar rupiah dana reses pernah disetorkan kembali ke kas negara setelah ditemukan penyimpangan. Di NTB, penyelidikan terhadap dugaan korupsi anggaran pokir menunjukkan bagaimana skema “uang siluman” dan penyerahan pengelolaan dana ke pihak ketiga berjalan dengan sistemik. Ini bukan sekadar kelalaian administratif: ini bukti pola yang berulang.
Jadi, siapa yang berdosa? Pertama, oknum anggota DPRD yang memasukkan usulan fiktif, mengklaim aspirasi padahal motifnya personal gain, atau meminta fee dari pihak pelaksana — mereka memimpin moral hazard. Kedua, OPD yang bersedia “mengakomodasi” cara-cara pengadaan tidak wajar (penunjukan langsung, mark-up, atau pengalihan ke yayasan tanpa audit) ikut berbagi dosa karena mereka menutup celah kontrol. Ketiga, lembaga pengawas internal—inspektorat, BPKP—sering terlambat bergerak; penegak hukum kerap baru menindak setelah bukti menggunung di media atau audit eksternal. Terakhir, pimpinan daerah dan pimpinan DPRD yang enggan menerapkan sanksi tegas dan transparansi juga memiliki porsi tanggung jawab moral. Semua aktor ini, secara kolektif, menciptakan budaya impunitas.
Jika ingin jujur menumpas bancakan, reformasinya harus teknis dan kebijakan:
1. Publikasi wajib risalah reses dan daftar penerima manfaat — sebelum APBD disahkan, setiap pokir harus dipublikasikan lengkap dengan bukti dukungan masyarakat. (Transparansi mencegah rekayasa klaim aspirasi.)
2. Verifikasi Bappeda yang berbasis kriteria teknis — setiap pokir harus melewati uji kelayakan (feasibility, prioritas sektoral, keberlanjutan) yang hasilnya dipublikasikan.
3. Audit forensik tahunan untuk pokir — Inspektorat atau BPKP menerbitkan audit khusus pokir; temuan berlanjut ke proses etik dan pidana bila ada indikasi korupsi.
4. Larangan aliran dana ke pihak ketiga tanpa verifikasi dan audit — jika realisasi melalui LSM/yayasan, harus ada rekam jejak keuangan dan audit independen.
5. Sanksi cepat dan efektif — kode etik DPRD harus dapat menangguhkan hak anggaran atau menginisiasi PAW sementara saat ada indikasi kuat penyalahgunaan.
Perbaikan ini bukan sekadar wacana teknis — ia menuntut keberanian politik. Masyarakat harus diberi ruang mengawasi: foto dokumentasi proyek, tanda terima penerima manfaat, dan mekanisme pengaduan yang direspons cepat. Tanpa partisipasi publik, audit birokratis akan selalu bereaksi lambat terhadap praktik yang sudah menjadi kebiasaan.
Menuduh “dosa” satu pihak terasa memuaskan, tetapi tidak menyelesaikan akar masalah. Pokir bisa kembali menjadi instrumen demokrasi bila kita mengubah sistem: mengikatnya pada bukti, verifikasi teknis, dan sanksi nyata. Jika tidak, dana aspirasi akan terus menjadi bisul anggaran — menimbulkan dosa bersama yang menggerogoti kepercayaan publik dan masa depan pembangunan daerah.







0 Comments:
Posting Komentar