Kamis, 11 Desember 2025

Bencana Oh Bencana, Salah Siapa? Refleksi Kritis atas Siklus Derita Indonesia

AISYAH NAZIYA ALMAHYRA
OWNER RUANG DIGITAL PEREMPUAN
PEGIAT GAME ONLINE

​Indonesia, sebuah gugusan zamrud khatulistiwa yang indah sekaligus rapuh, seolah tak pernah lekang dari berita duka. Setiap pergantian musim, bahkan dalam jeda yang singkat, kita disuguhi pemandangan pilu: banjir bandang, tanah longsor, erupsi gunung berapi, hingga gempa bumi dan tsunami. Deretan musibah ini tak hanya merenggut nyawa dan harta, tetapi juga mengikis keyakinan kita bahwa negara mampu melindungi segenap tumpah darahnya. Pertanyaan retoris pun kembali mencuat: Bencana Oh Bencana, Salah Siapa?

​Mencari satu "kambing hitam" tunggal adalah simplifikasi yang berbahaya. Dalam konteks bencana, kesalahan selalu bersifat multikausal, berlapis-lapis, dan melibatkan dimensi alam, manusia, dan kebijakan.

​Alam Sebagai Sebab, Manusia Sebagai Pemicu

​Secara geografis, Indonesia adalah "supermarket" bencana. Terletak di zona Cincin Api Pasifik (Ring of Fire) dan pertemuan tiga lempeng tektonik utama (Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik), aktivitas geologis adalah keniscayaan. Curah hujan yang tinggi di wilayah tropis pun menjadikan banjir dan longsor sebagai tamu rutin.

​Namun, frekuensi dan dampak destruktif bencana alam tidak sepenuhnya salah alam. Di sinilah peran manusia menjadi krusial.

  • Degradasi Lingkungan: Hutan yang seharusnya menjadi penyerap air telah berubah menjadi ladang sawit, perkebunan, atau area pertambangan, seringkali atas nama pembangunan dan investasi. Laju deforestasi, terutama di daerah hulu, mengubah siklus hidrologi. Ketika hujan turun, air yang tak lagi terserap akar pohon lantas menjadi energi kinetik yang menghanyutkan lumpur dan batuan ke hilir.
  • Tata Ruang yang "Berdarah": Pengabaian zonasi rawan bencana dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) adalah dosa kebijakan yang paling nyata. Pembangunan perumahan di bantaran sungai, permukiman di kaki tebing yang labil, atau bahkan mega proyek infrastruktur di patahan gempa, menunjukkan bahwa aspek mitigasi sering kali kalah dengan ambisi ekonomi jangka pendek. Tata ruang yang korup secara efektif telah mengundang bencana masuk ke ruang hidup masyarakat.

​Kegagalan Institusional dan Kultur Instan

​Lebih jauh, kita harus jujur melihat pada kegagalan institusional dan budaya masyarakat.

1. Lemahnya Implementasi Regulasi: Indonesia memiliki Undang-Undang Penanggulangan Bencana yang relatif komprehensif, namun implementasinya seringkali mandul. Sosialisasi mitigasi, pembangunan infrastruktur pengurang risiko (seperti waduk, cek dam, dan peringatan dini), serta penegakan hukum terhadap perusak lingkungan, berjalan terseok-seok. Anggaran bencana lebih sering terserap pada fase respons pasca-kejadian, ketimbang fokus pada prevensi yang jauh lebih murah dan efektif.

2. Politik Jangka Pendek (Politik Proyek): Mitigasi bencana adalah investasi jangka panjang yang hasilnya tidak dapat "dipamerkan" dalam satu periode jabatan politisi. Akibatnya, alokasi dana cenderung bergeser ke proyek-proyek fisik yang memberikan dampak elektoral instan, sementara pendidikan kebencanaan, simulasi evakuasi, dan pemetaan risiko, dianaktirikan.

3. Kultur Abai dan Pelupa: Masyarakat Indonesia memiliki daya tahan yang luar biasa terhadap bencana, namun ironisnya, juga memiliki daya lupa yang sama kuatnya. Setelah gempa, orang kembali membangun rumah di lokasi yang sama. Setelah banjir surut, sampah kembali memenuhi sungai. Siklus abai ini menunjukkan kurangnya internalisasi kesadaran risiko dan mentalitas disaster-ready (siap bencana).

​Jalan Keluar: Transformasi Paradigma

​Lantas, bagaimana kita keluar dari jeratan siklus derita ini? Jawabannya terletak pada transformasi paradigma, dari yang semula reaktif menjadi proaktif.

​Pertama, Perkuat Penegakan Hukum Lingkungan. Pelaku perusakan lingkungan, baik korporasi besar maupun oknum pejabat yang merestui izin, harus dihukum setegas-tegasnya. Ancaman pidana dan denda harus setimpal dengan dampak kerugian ekologis dan sosial yang ditimbulkan.

​Kedua, Integrasi Data dan Tata Ruang Berbasis Risiko. RTRW harus wajib mengacu pada peta kerawanan bencana terbaru (termasuk peta sesar aktif). Prinsip Build Back Better and Safer (membangun kembali lebih baik dan lebih aman) harus menjadi standar baku, bukan sekadar slogan pasca-bencana.

​Ketiga, Investasi pada Mitigasi Struktural dan Non-Struktural. Pembangunan infrastruktur pengurang risiko harus diprioritaskan. Seiring dengan itu, pendidikan kebencanaan harus diintegrasikan ke dalam kurikulum sekolah dan diperkuat melalui media massa. Masyarakat harus didorong untuk menjadi aktor utama dalam mitigasi, bukan sekadar objek yang dievakuasi.

​Pada akhirnya, bencana alam adalah keniscayaan, tetapi bencana sosial dan ekologis yang memperparah dampaknya adalah pilihan kolektif kita. Jawaban atas pertanyaan "Salah Siapa?" tidak harus menunjuk jari pada entitas tunggal, melainkan pada refleksi kritis bahwa kita semua – pemerintah, korporasi, dan masyarakat – memiliki andil dalam menciptakan atau meredam bencana yang datang.

​Indonesia tidak ditakdirkan untuk terus berduka. Saatnya mengubah air mata menjadi aksi nyata, agar anak cucu kita dapat mewarisi negeri yang indah ini dengan risiko yang terkelola, bukan dengan trauma yang diwariskan.

0 Comments:

Posting Komentar