Sabtu, 06 Desember 2025

PMK OH PMK No.81 Tahun 2025: Simalakama Buat Desa di Jawa Tengah

 

LATIF SAFRUDDIN
Sekjen FORUM BPD Klaten Selatan

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2025 muncul sebagai regulasi baru yang mengatur penyaluran Dana Desa tahun anggaran 2025. Alih-alih membawa angin segar, aturan ini justru memunculkan efek “simalakama”—dilaksanakan salah, tidak dilaksanakan lebih salah lagi. Desa-desa di Jawa Tengah menjadi salah satu wilayah yang paling merasakan dampaknya.

Di satu sisi, pemerintah pusat berkepentingan meningkatkan ketertiban administrasi, efisiensi fiskal, dan penyaluran dana yang tepat sasaran. Namun di sisi lain, desa menghadapi beban administrasi baru yang tidak mudah dipenuhi dalam waktu singkat. Akibatnya, ribuan desa di Jawa Tengah justru tertahan haknya: Dana Desa Tahap II yang tidak bisa cair.


Dampak yang Tidak Kecil: Data Jawa Tengah Bicara

Jawa Tengah tercatat sebagai provinsi dengan jumlah desa terdampak paling besar di Indonesia. Berdasarkan publikasi berbagai media daerah dan provinsi, setidaknya 2.176 desa di Jawa Tengah gagal mencairkan Dana Desa Tahap II Non-Earmarked imbas penerapan PMK 81/2025.

Beberapa kabupaten mencatat angka yang mencengangkan:

  • Purworejo: 274 desa

  • Blora: 113 desa

  • Magelang: 139 desa

  • Jepara: 29 desa

  • Grobogan: 12 desa

  • Banjarnegara: 88 desa

  • Kebumen: 96 desa

  • Brebes: 127 desa

  • Wonogiri: 59 desa

  • Klaten: 37 desa

  • Dan total 29 kabupaten terdampak.

Di antara data tersebut, hanya sedikit kabupaten yang mempublikasikan nama desa. Salah satu yang rilis lengkap adalah Grobogan (12 desa), misalnya: Manggarwetan, Karanggeneng, Latak, Kemloko, Bugel, Guyangan, Mlilir, Trisari, Papanrejo, Kapung, Ngambakrejo dan Pengkol.

Adapun di Purworejo, 274 desa tercatat gagal cair Dana Desa Tahap II. Beberapa yang disebut secara eksplisit oleh media antara lain: Krandegan, Ketawangrejo, Pasaranom, Ukirsari, Nambangan, Sumberagung, Bendungan, Bakurejo, Duduwetan, dan Dudukulon.

Data ini menunjukkan satu hal: skala persoalan yang tidak main-main.


Mengapa Desa Merasa “Tercekik”?

1. Persyaratan administratif baru yang berat

PMK 81 membawa syarat tambahan seperti penataan laporan, penyelesaian temuan, dan sejumlah ketentuan teknis lain. Bagi desa yang SDM administrasinya terbatas, perubahan mendadak ini menjadi hambatan nyata.

2. Waktu penyesuaian terlalu pendek

Desa menghadapi tumpukan pekerjaan re-align APBDes, perbaikan laporan, serta sinkronisasi data. Proses ini tidak bisa selesai dalam hitungan minggu.

3. Program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat mandek

Dana Desa non-earmarked adalah sumber utama kegiatan pembangunan fisik (jalan, jembatan kecil, talud), honor kegiatan, operasional posyandu, PAUD, pemberdayaan masyarakat, hingga kegiatan sosial desa.
Ketika dana tidak cair, efeknya terasa langsung oleh warga.

4. Desa menanggung stigma administratif

Banyak desa dianggap “gagal memenuhi syarat”, padahal faktor terbesar adalah beban regulasi baru yang datang secara tiba-tiba.


Simalakama di Lapangan

Desa dihadapkan pada dua pilihan sama pahit:

  1. Memaksa memenuhi seluruh syarat PMK 81, meski SDM dan waktu tidak memungkinkan.

  2. Tidak memenuhi syarat, dan akibatnya dana tidak cair, program desa mandek, dan pelayanan masyarakat terganggu.

Inilah situasi yang disebut “simalakama fiskal desa”: apa pun yang dipilih, desa rugi.


Bagaimana Desa di Jawa Tengah Menyikapi Situasi Ini?

Beberapa kabupaten mengambil langkah-langkah darurat:

  • Konsolidasi percepatan laporan keuangan

  • Pendampingan massal perangkat desa

  • Konsultasi ke Kemenkeu dan Kemendagri

  • Revisi APBDes 2025 & sinkronisasi 2026

  • Upaya penyelamatan program prioritas menggunakan SILPA

Namun tetap saja, tanpa intervensi aturan, desa akan terus seperti “memadamkan api dengan segelas air”. Tenaga habis, tetapi masalah tidak benar-benar tuntas.


Gagasan: Jalan Keluar yang Lebih Manusiawi untuk Desa

Agar desa tidak terus terjebak “simalakama PMK”, diperlukan terobosan:

1. Reformulasi PMK 81: buat tahapan transisi, bukan langsung diterapkan penuh

Regulasi baru harus memiliki masa adaptasi minimal 1 tahun.

2. Pendampingan administratif tingkat kabupaten diperkuat

SDM desa tidak bisa dibiarkan menghadapi aturan yang kompleks sendirian.

3. Dashboard monitoring yang sederhana dan seragam

Bukan banyak aplikasi, tapi satu alat kerja yang mudah.

4. Dana non-earmarked diberikan fleksibilitas lebih

Jangan sampai pembangunan desa berhenti karena dokumen yang terlambat atau salah format.

5. Dialog rutin antara pemerintah pusat – provinsi – desa

Kebijakan fiskal desa tidak boleh bersifat satu arah.


Penutup: PMK 81/2025 Harus Dinilai Ulang

PMK No.81 Tahun 2025 bukan sekadar regulasi administratif, tetapi pisau bermata dua yang menentukan hidup-matinya pembangunan desa. Data Jawa Tengah yang mencapai 2.176 desa terdampak adalah bukti paling gamblang bahwa aturan ini perlu evaluasi serius.

PMK yang dimaksudkan untuk memperbaiki tata kelola justru berpotensi menghambat pelayanan masyarakat jika tidak disertai dukungan, transisi, dan kebijakan teknis yang manusiawi bagi desa.

Oleh karena itu, PMK 81/2025 harus dikaji, diperbaiki, dan dilaksanakan dengan hati — karena desa bukan angka dalam tabel, tetapi denyut kehidupan masyarakat Indonesia.





0 Comments:

Posting Komentar