Senin, 22 September 2025

Musrenbangdes dan RKPDes 2026: Untuk Siapa Sesungguhnya?

LATIF SAFRUDDIN
Sekretaris BPD Sumberejo
Pegiat Medsos dan Pemberdayan Masyarakat


Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes) dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes) setiap tahun selalu digelar dengan harapan besar. Forum ini, kata aturan, adalah wadah rakyat desa untuk menentukan arah pembangunan setahun ke depan. Namun pertanyaan mendasar sering muncul: Musrenbangdes dan RKPDes itu sesungguhnya untuk siapa?

Di atas kertas, jawabannya jelas: untuk masyarakat desa. Permendagri Nomor 114 Tahun 2014 dan Permendesa PDTT Nomor 21 Tahun 2020 mengamanatkan bahwa Musrenbangdes wajib melibatkan warga dari berbagai unsur—perempuan, pemuda, kelompok miskin, hingga penyandang disabilitas. RKPDes yang lahir dari forum ini harus menjadi turunan logis dari RPJMDes dan menjadi dasar penganggaran APBDes. Semua rapi di atas regulasi.

Namun praktik di lapangan sering kali berbeda. Tidak jarang Musrenbangdes berubah menjadi sekadar acara seremonial. Aspirasi warga miskin tenggelam oleh usulan kelompok kuat. Perempuan dan pemuda hadir hanya sebagai pelengkap daftar hadir. Bahkan, ada desa yang menyusun RKPDes di balik meja kantor, tanpa jejak musyawarah yang bisa dipertanggungjawabkan. Di titik ini, Musrenbangdes kehilangan ruhnya: ia bukan lagi milik masyarakat, melainkan milik elite desa.

Padahal, bila dijalankan benar, Musrenbangdes dan RKPDes memberi banyak keuntungan. Pertama, ia menjadi ruang legitimasi politik yang sehat. Kepala desa tidak lagi dianggap memutuskan sendiri, melainkan mengimplementasikan kesepakatan bersama. Kedua, usulan yang lahir dari warga lebih tepat sasaran: jalan rusak diperbaiki, sumur gali untuk dusun kering dibangun, atau pelatihan usaha kecil digelar sesuai kebutuhan nyata. Ketiga, hasil Musrenbangdes yang terdokumentasi baik dapat masuk ke Musrenbang kecamatan dan kabupaten, sehingga peluang dana tambahan terbuka.

Namun masalah klasik selalu membayangi. Rendahnya partisipasi warga menyebabkan keputusan tidak mewakili kepentingan luas. Elite capture membuat proyek desa lebih sering menguntungkan segelintir pihak ketimbang masyarakat banyak. Kapasitas teknis tim penyusun yang lemah membuat RKPDes sering kali hanya daftar proyek tanpa ukuran keberhasilan. Bahkan, di tahun politik, RKPDes bisa menjadi kendaraan kampanye terselubung.

Kita bisa belajar dari berbagai pengalaman. Ada desa yang berhasil menjadikan Musrenbangdes sebagai ajang partisipatif: setiap dusun menyampaikan data kebutuhan, lalu forum memberi skor prioritas. Hasilnya, pembangunan desa benar-benar menyasar kebutuhan warga. Sebaliknya, ada pula desa yang menjadikan Musrenbangdes sekadar formalitas: keputusan sudah dibuat sebelumnya, dan musyawarah hanya sekadar “stempel legitimasi”. Bedanya terasa: desa pertama lebih maju, masyarakatnya lebih percaya pada pemerintah; desa kedua justru penuh kecurigaan dan konflik kecil.

Lalu, apa yang bisa dilakukan menuju RKPDes 2026? Pertama, desa perlu membuka ruang partisipasi nyata: beri panggung pada perempuan, pemuda, dan kelompok rentan, bukan hanya perangkat desa dan tokoh elite. Kedua, terapkan mekanisme skoring atau prioritisasi yang transparan, sehingga warga tahu mengapa satu usulan diterima dan yang lain ditunda. Ketiga, publikasikan hasil musyawarah di papan informasi desa atau website Sistem Informasi Desa, agar publik bisa mengawasi. Dan yang tidak kalah penting, BPD harus menjalankan peran kontrolnya, memastikan hasil musyawarah benar-benar masuk ke dokumen RKPDes.

Musrenbangdes dan RKPDes bukan sekadar kewajiban administratif untuk menyerap Dana Desa. Ia adalah cermin demokrasi lokal. Bila dijalankan dengan partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas, maka pembangunan desa 2026 akan lebih terarah, inklusif, dan dirasakan bersama. Namun bila dibiarkan sekadar formalitas, ia hanya akan menjadi ritual tahunan tanpa makna, meninggalkan masyarakat desa dalam kekecewaan yang berulang.

Pada akhirnya, Musrenbangdes dan RKPDes adalah milik rakyat desa. Pertanyaan “untuk siapa?” seharusnya tidak lagi ambigu. Jawabannya harus tegas: untuk seluruh warga desa, terutama mereka yang paling lemah dan terpinggirkan.

0 Comments:

Posting Komentar