KABAR PROPENSI

UMKM Gayeng 2024, Pamerkan Produk Unggulan Jateng di 5 Negara

KABAR SOLO

Prosedur Permohonan Informasi Publik untuk Umum dan Disabilitas di Kota Solo.

KABAR KLATEN

Data 4 kecamatan termiskin di Kabupaten Klaten.

KABAR SLEMAN

Lomba Kalurahan Inovatif Sleman Kembali Digelar, Jadi Upaya Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

KABAR KEPALA DESA

Kisah Suyamto, Kepala Desa di Klaten yang Bagikan Padi Gratis pada Warga

KABAR PUSAT

TINGKATKAN PELAYANAN BAGI PENYANDANG DISABILITAS, KEMENDES PDTT GELAR WORKSHOP BAHASA ISYARAT

KABAR JOGJA

Elektronifikasi Sertipikat Tanah Beri Kepastian Hukum dan Jamin Keamanan

OPINI

PEMUDA KLATEN LIMBAH JADI PUPUK ORGANIK

Kamis, 11 Desember 2025

Bencana Oh Bencana, Salah Siapa? Refleksi Kritis atas Siklus Derita Indonesia

AISYAH NAZIYA ALMAHYRA
OWNER RUANG DIGITAL PEREMPUAN
PEGIAT GAME ONLINE

​Indonesia, sebuah gugusan zamrud khatulistiwa yang indah sekaligus rapuh, seolah tak pernah lekang dari berita duka. Setiap pergantian musim, bahkan dalam jeda yang singkat, kita disuguhi pemandangan pilu: banjir bandang, tanah longsor, erupsi gunung berapi, hingga gempa bumi dan tsunami. Deretan musibah ini tak hanya merenggut nyawa dan harta, tetapi juga mengikis keyakinan kita bahwa negara mampu melindungi segenap tumpah darahnya. Pertanyaan retoris pun kembali mencuat: Bencana Oh Bencana, Salah Siapa?

​Mencari satu "kambing hitam" tunggal adalah simplifikasi yang berbahaya. Dalam konteks bencana, kesalahan selalu bersifat multikausal, berlapis-lapis, dan melibatkan dimensi alam, manusia, dan kebijakan.

​Alam Sebagai Sebab, Manusia Sebagai Pemicu

​Secara geografis, Indonesia adalah "supermarket" bencana. Terletak di zona Cincin Api Pasifik (Ring of Fire) dan pertemuan tiga lempeng tektonik utama (Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik), aktivitas geologis adalah keniscayaan. Curah hujan yang tinggi di wilayah tropis pun menjadikan banjir dan longsor sebagai tamu rutin.

​Namun, frekuensi dan dampak destruktif bencana alam tidak sepenuhnya salah alam. Di sinilah peran manusia menjadi krusial.

  • Degradasi Lingkungan: Hutan yang seharusnya menjadi penyerap air telah berubah menjadi ladang sawit, perkebunan, atau area pertambangan, seringkali atas nama pembangunan dan investasi. Laju deforestasi, terutama di daerah hulu, mengubah siklus hidrologi. Ketika hujan turun, air yang tak lagi terserap akar pohon lantas menjadi energi kinetik yang menghanyutkan lumpur dan batuan ke hilir.
  • Tata Ruang yang "Berdarah": Pengabaian zonasi rawan bencana dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) adalah dosa kebijakan yang paling nyata. Pembangunan perumahan di bantaran sungai, permukiman di kaki tebing yang labil, atau bahkan mega proyek infrastruktur di patahan gempa, menunjukkan bahwa aspek mitigasi sering kali kalah dengan ambisi ekonomi jangka pendek. Tata ruang yang korup secara efektif telah mengundang bencana masuk ke ruang hidup masyarakat.

​Kegagalan Institusional dan Kultur Instan

​Lebih jauh, kita harus jujur melihat pada kegagalan institusional dan budaya masyarakat.

1. Lemahnya Implementasi Regulasi: Indonesia memiliki Undang-Undang Penanggulangan Bencana yang relatif komprehensif, namun implementasinya seringkali mandul. Sosialisasi mitigasi, pembangunan infrastruktur pengurang risiko (seperti waduk, cek dam, dan peringatan dini), serta penegakan hukum terhadap perusak lingkungan, berjalan terseok-seok. Anggaran bencana lebih sering terserap pada fase respons pasca-kejadian, ketimbang fokus pada prevensi yang jauh lebih murah dan efektif.

2. Politik Jangka Pendek (Politik Proyek): Mitigasi bencana adalah investasi jangka panjang yang hasilnya tidak dapat "dipamerkan" dalam satu periode jabatan politisi. Akibatnya, alokasi dana cenderung bergeser ke proyek-proyek fisik yang memberikan dampak elektoral instan, sementara pendidikan kebencanaan, simulasi evakuasi, dan pemetaan risiko, dianaktirikan.

3. Kultur Abai dan Pelupa: Masyarakat Indonesia memiliki daya tahan yang luar biasa terhadap bencana, namun ironisnya, juga memiliki daya lupa yang sama kuatnya. Setelah gempa, orang kembali membangun rumah di lokasi yang sama. Setelah banjir surut, sampah kembali memenuhi sungai. Siklus abai ini menunjukkan kurangnya internalisasi kesadaran risiko dan mentalitas disaster-ready (siap bencana).

​Jalan Keluar: Transformasi Paradigma

​Lantas, bagaimana kita keluar dari jeratan siklus derita ini? Jawabannya terletak pada transformasi paradigma, dari yang semula reaktif menjadi proaktif.

​Pertama, Perkuat Penegakan Hukum Lingkungan. Pelaku perusakan lingkungan, baik korporasi besar maupun oknum pejabat yang merestui izin, harus dihukum setegas-tegasnya. Ancaman pidana dan denda harus setimpal dengan dampak kerugian ekologis dan sosial yang ditimbulkan.

​Kedua, Integrasi Data dan Tata Ruang Berbasis Risiko. RTRW harus wajib mengacu pada peta kerawanan bencana terbaru (termasuk peta sesar aktif). Prinsip Build Back Better and Safer (membangun kembali lebih baik dan lebih aman) harus menjadi standar baku, bukan sekadar slogan pasca-bencana.

​Ketiga, Investasi pada Mitigasi Struktural dan Non-Struktural. Pembangunan infrastruktur pengurang risiko harus diprioritaskan. Seiring dengan itu, pendidikan kebencanaan harus diintegrasikan ke dalam kurikulum sekolah dan diperkuat melalui media massa. Masyarakat harus didorong untuk menjadi aktor utama dalam mitigasi, bukan sekadar objek yang dievakuasi.

​Pada akhirnya, bencana alam adalah keniscayaan, tetapi bencana sosial dan ekologis yang memperparah dampaknya adalah pilihan kolektif kita. Jawaban atas pertanyaan "Salah Siapa?" tidak harus menunjuk jari pada entitas tunggal, melainkan pada refleksi kritis bahwa kita semua – pemerintah, korporasi, dan masyarakat – memiliki andil dalam menciptakan atau meredam bencana yang datang.

​Indonesia tidak ditakdirkan untuk terus berduka. Saatnya mengubah air mata menjadi aksi nyata, agar anak cucu kita dapat mewarisi negeri yang indah ini dengan risiko yang terkelola, bukan dengan trauma yang diwariskan.

Sabtu, 06 Desember 2025

PMK OH PMK No.81 Tahun 2025: Simalakama Buat Desa di Jawa Tengah

 

LATIF SAFRUDDIN
Sekjen FORUM BPD Klaten Selatan

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2025 muncul sebagai regulasi baru yang mengatur penyaluran Dana Desa tahun anggaran 2025. Alih-alih membawa angin segar, aturan ini justru memunculkan efek “simalakama”—dilaksanakan salah, tidak dilaksanakan lebih salah lagi. Desa-desa di Jawa Tengah menjadi salah satu wilayah yang paling merasakan dampaknya.

Di satu sisi, pemerintah pusat berkepentingan meningkatkan ketertiban administrasi, efisiensi fiskal, dan penyaluran dana yang tepat sasaran. Namun di sisi lain, desa menghadapi beban administrasi baru yang tidak mudah dipenuhi dalam waktu singkat. Akibatnya, ribuan desa di Jawa Tengah justru tertahan haknya: Dana Desa Tahap II yang tidak bisa cair.


Dampak yang Tidak Kecil: Data Jawa Tengah Bicara

Jawa Tengah tercatat sebagai provinsi dengan jumlah desa terdampak paling besar di Indonesia. Berdasarkan publikasi berbagai media daerah dan provinsi, setidaknya 2.176 desa di Jawa Tengah gagal mencairkan Dana Desa Tahap II Non-Earmarked imbas penerapan PMK 81/2025.

Beberapa kabupaten mencatat angka yang mencengangkan:

  • Purworejo: 274 desa

  • Blora: 113 desa

  • Magelang: 139 desa

  • Jepara: 29 desa

  • Grobogan: 12 desa

  • Banjarnegara: 88 desa

  • Kebumen: 96 desa

  • Brebes: 127 desa

  • Wonogiri: 59 desa

  • Klaten: 37 desa

  • Dan total 29 kabupaten terdampak.

Di antara data tersebut, hanya sedikit kabupaten yang mempublikasikan nama desa. Salah satu yang rilis lengkap adalah Grobogan (12 desa), misalnya: Manggarwetan, Karanggeneng, Latak, Kemloko, Bugel, Guyangan, Mlilir, Trisari, Papanrejo, Kapung, Ngambakrejo dan Pengkol.

Adapun di Purworejo, 274 desa tercatat gagal cair Dana Desa Tahap II. Beberapa yang disebut secara eksplisit oleh media antara lain: Krandegan, Ketawangrejo, Pasaranom, Ukirsari, Nambangan, Sumberagung, Bendungan, Bakurejo, Duduwetan, dan Dudukulon.

Data ini menunjukkan satu hal: skala persoalan yang tidak main-main.


Mengapa Desa Merasa “Tercekik”?

1. Persyaratan administratif baru yang berat

PMK 81 membawa syarat tambahan seperti penataan laporan, penyelesaian temuan, dan sejumlah ketentuan teknis lain. Bagi desa yang SDM administrasinya terbatas, perubahan mendadak ini menjadi hambatan nyata.

2. Waktu penyesuaian terlalu pendek

Desa menghadapi tumpukan pekerjaan re-align APBDes, perbaikan laporan, serta sinkronisasi data. Proses ini tidak bisa selesai dalam hitungan minggu.

3. Program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat mandek

Dana Desa non-earmarked adalah sumber utama kegiatan pembangunan fisik (jalan, jembatan kecil, talud), honor kegiatan, operasional posyandu, PAUD, pemberdayaan masyarakat, hingga kegiatan sosial desa.
Ketika dana tidak cair, efeknya terasa langsung oleh warga.

4. Desa menanggung stigma administratif

Banyak desa dianggap “gagal memenuhi syarat”, padahal faktor terbesar adalah beban regulasi baru yang datang secara tiba-tiba.


Simalakama di Lapangan

Desa dihadapkan pada dua pilihan sama pahit:

  1. Memaksa memenuhi seluruh syarat PMK 81, meski SDM dan waktu tidak memungkinkan.

  2. Tidak memenuhi syarat, dan akibatnya dana tidak cair, program desa mandek, dan pelayanan masyarakat terganggu.

Inilah situasi yang disebut “simalakama fiskal desa”: apa pun yang dipilih, desa rugi.


Bagaimana Desa di Jawa Tengah Menyikapi Situasi Ini?

Beberapa kabupaten mengambil langkah-langkah darurat:

  • Konsolidasi percepatan laporan keuangan

  • Pendampingan massal perangkat desa

  • Konsultasi ke Kemenkeu dan Kemendagri

  • Revisi APBDes 2025 & sinkronisasi 2026

  • Upaya penyelamatan program prioritas menggunakan SILPA

Namun tetap saja, tanpa intervensi aturan, desa akan terus seperti “memadamkan api dengan segelas air”. Tenaga habis, tetapi masalah tidak benar-benar tuntas.


Gagasan: Jalan Keluar yang Lebih Manusiawi untuk Desa

Agar desa tidak terus terjebak “simalakama PMK”, diperlukan terobosan:

1. Reformulasi PMK 81: buat tahapan transisi, bukan langsung diterapkan penuh

Regulasi baru harus memiliki masa adaptasi minimal 1 tahun.

2. Pendampingan administratif tingkat kabupaten diperkuat

SDM desa tidak bisa dibiarkan menghadapi aturan yang kompleks sendirian.

3. Dashboard monitoring yang sederhana dan seragam

Bukan banyak aplikasi, tapi satu alat kerja yang mudah.

4. Dana non-earmarked diberikan fleksibilitas lebih

Jangan sampai pembangunan desa berhenti karena dokumen yang terlambat atau salah format.

5. Dialog rutin antara pemerintah pusat – provinsi – desa

Kebijakan fiskal desa tidak boleh bersifat satu arah.


Penutup: PMK 81/2025 Harus Dinilai Ulang

PMK No.81 Tahun 2025 bukan sekadar regulasi administratif, tetapi pisau bermata dua yang menentukan hidup-matinya pembangunan desa. Data Jawa Tengah yang mencapai 2.176 desa terdampak adalah bukti paling gamblang bahwa aturan ini perlu evaluasi serius.

PMK yang dimaksudkan untuk memperbaiki tata kelola justru berpotensi menghambat pelayanan masyarakat jika tidak disertai dukungan, transisi, dan kebijakan teknis yang manusiawi bagi desa.

Oleh karena itu, PMK 81/2025 harus dikaji, diperbaiki, dan dilaksanakan dengan hati — karena desa bukan angka dalam tabel, tetapi denyut kehidupan masyarakat Indonesia.





Kamis, 27 November 2025

MENGAPA DESA MASIH BERGANTUNG PADA DANA PUSAT?



* SEKJEN FORUM BPD KECAMATAN KLATEN SELATAN
*KOORDINATOR LEMBAGA STUDI POLITIK HUKUM DAN PERDAMAIAN INDONESIA

Analisis Mendalam, Fakta, dan Implikasi Jika Dana Desa Dihilangkan**

Sejak hadirnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, wajah pembangunan di Indonesia mengalami perubahan besar. Untuk pertama kalinya dalam sejarah republik, desa menjadi subjek pembangunan, bukan sekadar objek. Pemerintah pusat kemudian menggelontorkan Dana Desa (DD) dalam jumlah sangat besar—mencapai Rp 71 triliun pada 2024–2025—yang disalurkan kepada lebih dari 74 ribu desa.
Walaupun sudah satu dekade berjalan, kenyataannya banyak desa masih sangat bergantung pada aliran dana dari pusat. Ketika wacana penurunan atau penghapusan Dana Desa muncul di ruang publik, banyak yang khawatir: Jika Dana Desa dihilangkan, apa yang dapat dilakukan desa? Mampukah desa mandiri secara finansial?
Artikel ini menyajikan analisis komprehensif, berbasis data, dan disusun dengan bahasa yang mengalir. Tujuannya adalah mempertajam pemahaman tentang persoalan fiskal desa dan sekaligus menawarkan pandangan jangka panjang tentang kemandirian desa.

1. Latar Belakang Dana Desa: Tujuan dan Mandat Hukum
Dana Desa merupakan kebijakan fiskal strategis yang lahir dari amanat UU Desa, yaitu memberi kewenangan, pendanaan, dan ruang gerak bagi desa untuk menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayaan.

Secara filosofis, Dana Desa memiliki tiga misi besar:

1. Mengurangi ketimpangan antarwilayah.
2. Meningkatkan layanan publik di tingkat desa.
3. Mendorong kemandirian dan ekonomi lokal.

Secara teknis, Dana Desa menjadi bagian dari mekanisme Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) dalam APBN yang setiap tahunnya mengalir ratusan triliun rupiah ke daerah. Dari sisi fiskal nasional, Dana Desa bukan sekadar bantuan, tetapi instrumen pemerataan pembangunan.

2. Gambaran Besar: Mengapa Desa Masih Bergantung pada Dana Pusat?
Walaupun otonomi desa diberikan secara luas, alasan ketergantungan pada dana pusat cukup kuat dan dapat dijelaskan melalui lima faktor utama berikut.

2.1. Kewajiban Desa Lebih Berat daripada Sumber Pendapatan Lokal
UU Desa memberi desa tanggung jawab besar: menyelenggarakan pemerintahan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan, dan kemasyarakatan. Namun, kewenangan ini tidak dibarengi basis pendapatan lokal yang memadai.
Desa memerlukan biaya untuk:
Operasional kantor, Kegiatan pemerintahan, Layanan dasar masyarakat.

Pembangunan fisik.
Program pemberdayaan dan prioritas nasional seperti stunting.
Tanpa transfer pusat, tugas-tugas ini nyaris tidak mungkin dibiayai. Inilah akar ketergantungan fiskal desa.

2.2. Rendahnya Pendapatan Asli Desa (PADes)
Data Kemenkeu dan BPS menunjukkan bahwa PADes rata-rata hanya menyumbang sebagian sangat kecil dari total pendapatan desa. Sementara itu, Dana Desa dan Alokasi Dana Desa (ADD) menjadi porsi terbesar.

Sumber PADes meliputi:

Hasil usaha (misalnya sewa aset desa).
Hasil badan usaha (BUMDes).
Iuran swadaya masyarakat.
Kerja sama antar desa.
Namun potensi ini terbatas oleh:
Skala ekonomi desa yang kecil.
Terbatasnya basis pungutan dan pajak lokal.
Ketiadaan aset produktif yang kuat.

Bahkan banyak desa yang PADes-nya tidak mencapai 5% dari total pendapatan.

2.3. Struktur Ekonomi Desa Didominasi Sektor Primer
Sebagian besar desa mengandalkan pertanian dan usaha mikro yang margin keuntungannya rendah. Di banyak tempat, peluang investasi terbatas, industri tidak berkembang, dan akses pasar belum optimal.

Konsekuensinya:
Desa sulit mengembangkan sumber pendapatan besar.
BUMDes sulit maju tanpa modal dan kapasitas manajerial.
Desa tidak punya instrumen fiskal seperti pajak daerah.
Kondisi ini membuat desa mustahil membiayai pembangunan skala besar tanpa intervensi pusat.

2.4. Kapasitas Administrasi dan Manajerial yang Belum Merata
Kunci kemandirian desa bukan hanya modal, tetapi kapasitas mengelola keuangan dan usaha. Banyak perangkat desa masih kesulitan dalam:
Penyusunan perencanaan pembangunan.
Pengelolaan BUMDes secara profesional.
Penilaian risiko usaha.
Tata kelola transparansi dan akuntabilitas.

Variasi kemampuan antar desa sangat tinggi. Akibatnya, sebagian desa bisa berinovasi, tetapi sebagian besar masih bergantung pada transfer.

2.5. Kebijakan Nasional Memang Didisain untuk Transfer
Perlu dipahami bahwa ketergantungan ini bukan kesalahan desa semata, melainkan karena sistem fiskal Indonesia memang dirancang untuk mendistribusikan anggaran dari pusat ke daerah.

Tujuannya agar:
Ketimpangan berkurang.
Pembangunan merata.
Desa tidak tertinggal.
Karena itu, Dana Desa bukan hanya “bantuan”, melainkan instrumen kebijakan nasional.

3. Bukti Empiris: Dana Desa Efektif, Tapi Tidak Merata
Berbagai studi menunjukkan bahwa Dana Desa berkontribusi pada penurunan kemiskinan pedesaan, terutama di daerah dengan kapasitas tata kelola yang baik. Infrastruktur kecil seperti jalan usaha tani, drainase, jembatan desa, posyandu, dan embung terbukti meningkatkan produktivitas masyarakat.
Namun hasilnya tidak merata. Ada desa yang mampu mengoptimalkan Dana Desa, tetapi ada pula yang hanya menyalurkan bantuan tunai tanpa membangun kapasitas ekonomi jangka panjang.

4. Skenario Jika Dana Desa Dihilangkan: Dampak dan Risiko Nyata
Menghapus Dana Desa secara mendadak dapat menimbulkan dampak serius baik jangka pendek maupun jangka panjang. Berikut analisis paling realistis jika Dana Desa benar-benar tidak lagi diberikan.

4.1. Dampak Jangka Pendek
1. Pembangunan infrastruktur desa terhenti
Hampir semua pembangunan jalan desa, drainase, fasilitas air bersih, posyandu, dan sarana publik lainnya didanai Dana Desa. Tanpa DD, pembangunan fisik akan berhenti.

2. Layanan masyarakat terganggu
Operasional pemerintahan desa selama ini juga mendapat sokongan dari DD dan ADD. Menghilangkan DD berarti desa kehilangan pendanaan untuk:
koordinasi,
layanan administrasi,
kegiatan kelembagaan desa.

3. Program pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan mandek
Program seperti:
BLT Dana Desa,
penanganan stunting,
pelatihan UMKM,
akan terganggu secara drastis.
Keluarga miskin sangat terdampak.

4.2. Dampak Menengah: Ketimpangan Meningkat
Desa kaya yang memiliki PADes besar dan potensi pariwisata atau perkebunan mungkin mampu bertahan. Tetapi desa-desa di wilayah tertinggal akan terpukul.

Ketimpangan antar desa akan melebar. Ketimpangan antar kabupaten juga meningkat karena pemerintah kabupaten harus menanggung beban lebih besar.

4.3. Dampak Jangka Panjang: Kemandirian Desa Justru Makin Jauh
Menghapus Dana Desa bukan membuat desa mandiri, tetapi justru
mengurangi kapasitas desa untuk membangun fondasi ekonomi,
melemahkan BUMDes karena tidak ada modal awal,
menghambat pertumbuhan ekonomi lokal, menurunkan kualitas SDM desa.

Kemandirian desa mustahil dicapai hanya dengan mengurangi bantuan tanpa menyediakan alternatif yang realistis.

**5. Apa yang Bisa Dilakukan Desa Jika Dana Desa Dihilangkan?

Alternatif Strategis yang Realistis**

Meski penghapusan Dana Desa bukan langkah bijak, kita tetap dapat membayangkan apa strategi desa jika transfer tersebut benar-benar berkurang.

Berikut enam strategi realistis yang dapat dilakukan.


---

5.1. Optimalisasi dan Profesionalisasi BUMDes

BUMDes memiliki potensi besar, tetapi keberhasilannya tergantung pada:

model bisnis yang jelas,

manajemen profesional,

akuntabilitas,

studi kelayakan,

akses pasar.


BUMDes bisa bergerak di sektor:

wisata,

air bersih,

pengelolaan sampah,

perdagangan hasil pertanian,

jasa logistik,

energi mikro.


Namun membutuhkan modal, pendampingan, dan inovasi.


---

5.2. Meningkatkan PADes Secara Bertahap

PADes bisa diperkuat melalui:

pemetaan aset desa,

penyewaan tanah kas desa,

pengolahan pasar desa,

kerja sama usaha antar desa,

pengelolaan parkir,

usaha layanan dasar.


Namun peningkatan PADes adalah proses lama—butuh 5–10 tahun untuk mencapai level signifikan.


---

5.3. Kerja Sama Klaster Antar Desa

Ini strategi efektif yang sering diabaikan. Desa-desa dapat bekerja sama membentuk klaster usaha:

klaster pengolahan hasil pertanian,

klaster wisata,

klaster logistik,

klaster industri rumahan.


Skala ekonomi meningkat sehingga usaha lebih menguntungkan.


---

5.4. Mencari Sumber Pembiayaan Non-APBN

Alternatif pembiayaan dapat berasal dari:

CSR perusahaan,

hibah LSM,

kerja sama dengan universitas,

pembiayaan syariah dan mikro untuk UMKM,

program kementerian lain yang tidak melalui Dana Desa.


Namun sifat pendanaan ini tidak stabil dan bergantung pada proposal.


---

5.5. Transformasi Ekonomi Desa

Desa bisa bergerak menuju ekonomi bernilai tambah:

pengolahan hasil pertanian,

digitalisasi pemasaran produk lokal,

pengembangan wisata edukasi dan budaya,

penggunaan teknologi pertanian.


Transformasi ini memerlukan SDM terlatih dan akses pasar yang kuat.


---

5.6. Peningkatan Tata Kelola dan Kapasitas Perangkat Desa

Tidak ada kemandirian desa tanpa:

perencanaan yang baik (RPJMDes, RKPDes),

transparansi APBDes,

kualitas SDM perangkat yang meningkat,

kemampuan melakukan analisis dan pengawasan.


Program pelatihan dan pendampingan jangka panjang sangat penting.


---

**6. Apa Kebijakan yang Lebih Masuk Akal?

(Pandangan Kebijakan dan Rekomendasi)**

Daripada menghapus Dana Desa, kebijakan yang lebih masuk akal adalah:


---

6.1. Reformulasi Dana Desa

Dana Desa tidak harus dihapus, tetapi dapat direformasi:

proporsi untuk pemberdayaan ekonomi harus diperbesar,

insentif untuk desa berprestasi,

pengetatan pengawasan.



---

6.2. Peningkatan Kapasitas BUMDes dan Akses Pasar

BUMDes harus diberikan:

akses modal,

pendampingan profesional,

koneksi ke pasar nasional,

teknologi digital.


Transformasi BUMDes adalah jalan paling realistis menuju kemandirian.


---

6.3. Penguatan Aset dan Data Desa

Pemetaan aset desa secara digital dapat menjadi dasar pengelolaan ekonomi yang lebih sehat. Desa juga perlu menggunakan data untuk perencanaan.


---

6.4. Kerja Sama Antar Desa sebagai Strategi Nasional

Pemerintah pusat dapat membuat program klasterisasi desa untuk menciptakan sentra ekonomi regional yang lebih efisien.


---

7. Kesimpulan: Dana Desa Belum Bisa Dihilangkan, Kemandirian Desa Harus Didesain, Bukan Dipaksakan

Fakta menunjukkan bahwa:

Desa masih sangat bergantung pada Dana Desa karena struktur ekonomi dan fiskalnya memang belum kuat.

Menghapus Dana Desa tanpa strategi transisi yang matang akan menimbulkan dampak sosial, ekonomi, dan pemerintahan yang serius.

Kemandirian desa harus dibangun—bukan dipaksakan.


Untuk menuju desa mandiri, strategi realistis harus dilakukan: memperkuat BUMDes, meningkatkan PADes, melakukan klasterisasi usaha, meningkatkan kapasitas perangkat desa, dan memanfaatkan aset lokal secara cerdas.

Dana Desa adalah investasi negara bagi masa depan desa. Menghapusnya berarti melemahkan akar pembangunan Indonesia. Jalan terbaik adalah memperbaiki, bukan menghapus.



Rabu, 29 Oktober 2025

BUKAN PURBAYA, TAPI ALLAH

 

LATIF SAFRUDDIN
OWNER DAPOER BAROKAH ONLINE
PENGIAT MEDSOS 
SEKJEN FORUM BPD
KLATEN SELATAN


Dalam hiruk-pikuk ekonomi yang terus berputar, manusia sering lupa bahwa bukan Purbaya, bukan Sri Mulyani, bukan pejabat manapun yang menentukan nasib negeri ini—melainkan Allah. Negeri ini tak akan jaya karena strategi teknokrat semata, tapi karena taatnya manusia kepada Sang Pemberi Rezeki.

Indonesia, dengan segala sumber daya alamnya yang melimpah, seharusnya menjadi negeri yang makmur. Lautnya luas, tanahnya subur, dan langitnya penuh rahmat. Namun, mengapa ekonomi kita masih sering guncang, utang menumpuk, dan ketimpangan tetap tinggi? Jawabannya bukan sekadar dalam angka APBN atau suku bunga, melainkan pada kejujuran hati para pelaku kepentingan.

Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

 “Sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (QS. Al-A’raf: 96)

Ayat ini bukan sekadar janji spiritual—ini adalah prinsip ekonomi yang sangat rasional. Keberkahan adalah stabilitas ekonomi yang muncul dari sistem yang jujur, tidak rakus, dan adil. Ketika para pemimpin, pejabat, dan pelaku ekonomi menempatkan kejujuran di atas kepentingan pribadi, maka keberkahan akan mengalir. Tapi ketika korupsi dan kolusi dijadikan budaya, maka yang lahir bukan kesejahteraan, melainkan krisis moral dan ekonomi.

Hadis Rasulullah SAW mengingatkan,

 “Tidaklah akan berkurang rezeki seseorang karena sedekah, dan tidak akan bertambah harta karena kecurangan.” (HR. Muslim)

Namun, dalam praktik ekonomi modern, banyak yang berpikir sebaliknya: menimbun harta seolah bisa memperkaya, menipu pasar seolah bisa memperbesar keuntungan. Padahal, setiap rupiah yang diperoleh dengan cara batil justru mengundang kebangkrutan ruhani dan ekonomi. Inilah mengapa kita menyaksikan begitu banyak perusahaan besar tumbang bukan karena inflasi, tapi karena hilangnya integritas.

Dalam konteks nasional, reformasi ekonomi seharusnya tidak hanya tentang insentif pajak, investasi asing, atau digitalisasi pasar, tetapi reformasi moral. Indonesia butuh lebih banyak pejabat yang takut kepada Allah, bukan hanya kepada hukum. Butuh pengusaha yang memandang laba sebagai amanah, bukan hasil tipu daya. Butuh rakyat yang bekerja bukan hanya untuk gaji, tapi untuk ibadah.

Setiap manusia sudah memiliki rezekinya masing-masing. Dalam hadis disebutkan: “Tidaklah seorang jiwa akan mati sampai ia menyempurnakan rezekinya, walau seberat zarrah.” (HR. Ibnu Majah)

Artinya, tidak perlu serakah, tidak perlu menzalimi, karena Allah sudah menakar segalanya. Rezeki bukan hasil dari kelicikan, tapi buah dari kejujuran dan kerja keras yang diridhai.

Di depan wartawan dalam wawancara pertanyaan [online]

Maka, jika Indonesia ingin bangkit dari ketimpangan, dari kemiskinan, dari krisis moral dan ekonomi—kuncinya sederhana: taat kepada Allah dan jujur dalam bekerja.

Negeri ini tidak butuh lebih banyak ahli ekonomi tanpa nurani, tapi butuh lebih banyak manusia yang sadar bahwa setiap angka dalam laporan keuangan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.

Bukan Purbaya yang menentukan rezeki negeri ini, tapi Allah.

Dan selama kita jujur, bekerja dengan niat ibadah, serta menolak praktik curang, maka janji Allah pasti nyata: “Berkah dari langit dan bumi akan diturunkan.”