Sabtu, 13 September 2025

BPD dalam Pemerintahan Desa Hanya Pasangan Tiri yang Tidak Bisa Apa-apa


Pemerintahan desa pada dasarnya adalah miniatur demokrasi di tingkat lokal. Di dalamnya terdapat dua aktor penting: Kepala Desa sebagai eksekutif, dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai lembaga perwakilan rakyat desa. Idealnya, BPD berfungsi sebagai wadah aspirasi masyarakat sekaligus pengawas jalannya pemerintahan desa. Namun dalam praktiknya, BPD justru sering diposisikan sebagai “pasangan tiri” dalam rumah tangga pemerintahan desa: keberadaannya diakui, tetapi tidak benar-benar diberi ruang dan kewenangan untuk memainkan peran yang signifikan.


BPD: Antara Regulasi dan Realitas

Secara regulatif, BPD memiliki fungsi utama: membahas dan menyepakati rancangan peraturan desa, menampung serta menyalurkan aspirasi masyarakat, dan melakukan pengawasan terhadap kinerja kepala desa. Fungsi tersebut menunjukkan bahwa BPD adalah mitra sejajar kepala desa. Akan tetapi, dalam realitas di lapangan, peran tersebut sering melemah. Kepala desa kerap mendominasi proses pengambilan keputusan, sementara BPD hanya dijadikan stempel formalitas.

Fenomena ini menimbulkan ironi. Lembaga yang seharusnya menjadi simbol demokrasi desa justru tereduksi menjadi lembaga “penyerta” yang tidak mampu menunjukkan pengaruh nyata. Dengan kata lain, BPD sekadar hadir, tetapi jarang benar-benar dianggap penting.


Relasi Kuasa yang Tidak Seimbang

Salah satu penyebab lemahnya posisi BPD adalah relasi kuasa yang timpang dengan kepala desa. Kepala desa memegang kendali penuh atas pengelolaan keuangan desa, terutama sejak adanya dana desa yang jumlahnya terus meningkat. Kondisi ini membuat posisi kepala desa semakin dominan, sedangkan BPD sering kehilangan keberanian untuk melakukan kontrol. Akibatnya, mekanisme check and balance yang diharapkan tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Dalam banyak kasus, ketika BPD mencoba kritis, hubungan personal dengan kepala desa bisa renggang. Alih-alih didukung, anggota BPD seringkali justru mendapat tekanan sosial atau politik. Situasi inilah yang menjerumuskan BPD pada posisi “tidak bisa apa-apa”.


Kapasitas dan Independensi Anggota BPD

Faktor lain yang memperlemah peran BPD adalah kapasitas sumber daya manusia (SDM). Banyak anggota BPD dipilih bukan karena kapasitas, melainkan berdasarkan kedekatan, kompromi politik lokal, atau representasi formal wilayah. Akibatnya, kemampuan mereka untuk membaca dokumen anggaran, menganalisis kebijakan, maupun melakukan advokasi masyarakat menjadi terbatas.

Selain itu, independensi anggota BPD sering dipertanyakan. Tidak jarang mereka justru terjebak dalam kepentingan pribadi atau kelompok, sehingga gagal memperjuangkan kepentingan masyarakat luas.


BPD yang Jauh dari Masyarakat

Secara ideal, BPD adalah perpanjangan lidah masyarakat desa. Namun dalam praktiknya, komunikasi BPD dengan masyarakat masih minim. Forum musyawarah jarang diadakan, laporan kerja tidak transparan, dan keterlibatan masyarakat dalam agenda BPD rendah. Akibatnya, masyarakat tidak melihat BPD sebagai representasi mereka, melainkan sekadar pelengkap struktur desa.

Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka BPD akan semakin kehilangan legitimasi. Ia akan tetap ada secara formal, tetapi tanpa roh dan pengaruh substantif.


Reorientasi Peran BPD

Untuk keluar dari posisi sebagai “pasangan tiri”, BPD perlu mengalami reorientasi peran. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan:

1. Penguatan regulasi: BPD perlu diberi kewenangan yang lebih jelas dalam hal pengawasan dan evaluasi kinerja kepala desa, khususnya terkait pengelolaan dana desa.

2. Peningkatan kapasitas anggota: Pemerintah kabupaten/kota perlu rutin menyelenggarakan pelatihan tentang tata kelola desa, pengawasan anggaran, serta teknik advokasi masyarakat.

3. Membangun independensi: Anggota BPD harus berani bersikap kritis tanpa takut kehilangan dukungan politik lokal.

4. Mendorong partisipasi masyarakat: BPD harus aktif membuka ruang dialog, musyawarah, dan forum aspirasi yang transparan, sehingga masyarakat merasa memiliki BPD.

BPD dalam pemerintahan desa tidak boleh selamanya menjadi “pasangan tiri yang tidak bisa apa-apa”. Jika peran pengawasan, representasi, dan legislasi dijalankan secara sungguh-sungguh, BPD dapat menjadi mitra sejajar kepala desa sekaligus penguat demokrasi lokal. Namun, selama relasi kuasa timpang, kapasitas lemah, dan kedekatan dengan masyarakat minim, maka BPD hanya akan menjadi simbol tanpa makna—hadir dalam struktur, tetapi absen dalam fungsi.



LATIF SAFRUDDIN
Sekretari BPD Sumberejo

0 Comments:

Posting Komentar