![]() |
| LATIF SAFRUDDIN Sekretaris BPD Desa Sumberejo, Pegiat Medsos dan Pemberdayaan Masyarakat |
Pendahuluan
Desa bukan sekadar ruang geografis yang berisi penduduk, sawah, ladang, dan tradisi. Desa adalah akar bangsa, fondasi sosial yang menopang keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, desa juga kerap diposisikan dalam bayang-bayang kota: terbelakang, tertinggal, dan menjadi pemasok tenaga kerja murah. Paradigma lama ini harus diubah. Masa depan bangsa sesungguhnya ada di desa. Desa perlu digagas ulang sebagai pusat kemandirian, inovasi, dan keberlanjutan.
Momentum perubahan hadir melalui lahirnya UU Nomor 3 Tahun 2024 tentang Desa, yang merevisi UU Nomor 6 Tahun 2014. Regulasi baru ini memberi ruang yang lebih besar bagi desa untuk menentukan nasibnya, baik melalui tambahan alokasi Dana Desa, penguatan kelembagaan, maupun pengakuan terhadap Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagai pilar ekonomi desa.
Namun, regulasi bukanlah jaminan otomatis. Yang dibutuhkan adalah gagasan kritis dan inspiratif untuk menggerakkan desa agar benar-benar menjadi “desa masa depan”: desa yang mandiri secara ekonomi, kokoh secara budaya, dan berdaya secara politik.
---
1. Desa dan Tantangan Masa Depan
Di tengah derasnya arus globalisasi dan digitalisasi, desa menghadapi tantangan yang tidak sederhana. Beberapa hal yang perlu dikritisi:
1. Ketergantungan pada Dana Desa – Banyak desa masih terjebak pada logika “habiskan anggaran”, bukan “kelola sumber daya”. Dana Desa sering habis untuk pembangunan fisik tanpa berkelanjutan pada aspek ekonomi atau sosial.
2. Kelembagaan yang Lemah – BPD, perangkat desa, dan masyarakat sering berjalan sendiri-sendiri. Regulasi baru seharusnya mendorong sinergi, bukan sekadar formalitas musyawarah.
3. Krisis Generasi Muda Desa – Anak muda desa masih banyak yang memilih hijrah ke kota karena desa dianggap “tidak menjanjikan”. Padahal, masa depan pertanian modern, ekonomi digital, hingga pariwisata justru ada di desa.
4. Ketidaksetaraan Akses – Layanan kesehatan, pendidikan, hingga digitalisasi masih timpang di banyak desa.
Tantangan ini harus dijawab dengan ide-ide baru yang visioner.
---
2. Regulasi Baru sebagai Peluang Emas
UU Desa 2024 menghadirkan beberapa poin penting yang harus dibaca kritis:
Tambahan Dana Desa hingga 20% dari Dana Transfer ke Daerah. Ini peluang sekaligus jebakan. Jika hanya dipakai untuk konsumsi, desa tidak akan berubah. Namun, jika dikelola produktif, dana ini bisa menjadi modal pembangunan jangka panjang.
Penguatan BUMDes menjadi Badan Hukum. Regulasi baru menjadikan BUMDes lebih leluasa berbisnis dan bermitra dengan pihak luar. Ini adalah momentum bagi desa untuk menciptakan ekosistem ekonomi lokal yang berkelanjutan.
Pengakuan Peran Sosial-Budaya. UU baru menegaskan bahwa pembangunan desa tidak semata fisik, tetapi juga harus menjaga tradisi, kearifan lokal, dan lingkungan hidup.
Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa. Meski menuai pro-kontra, regulasi ini bisa menjadi peluang konsistensi pembangunan asalkan disertai transparansi dan partisipasi rakyat.
---
3. Visi Desa Masa Depan: Kemandirian dan Keberlanjutan
Untuk menjadikan desa sebagai pusat masa depan bangsa, dibutuhkan visi yang jelas:
1. Desa Ekonomi Mandiri
BUMDes harus menjadi inkubator bisnis, bukan hanya formalitas. Desa bisa mengembangkan agrowisata, energi terbarukan, perdagangan digital, dan koperasi modern.
Dana Desa harus diarahkan ke investasi produktif: lahan pertanian organik, pengolahan hasil panen, marketplace lokal, hingga sistem logistik desa.
2. Desa Digital dan Inovatif
Desa harus bertransformasi menjadi desa digital dengan memanfaatkan internet untuk layanan publik, pemasaran produk, hingga literasi masyarakat.
Generasi muda desa bisa diberdayakan menjadi pionir start-up berbasis potensi lokal.
3. Desa Hijau dan Berkelanjutan
Pembangunan desa harus ramah lingkungan: energi surya, pengelolaan sampah, konservasi air, dan pertanian organik.
Desa hijau bukan hanya jargon, tetapi investasi ekologis untuk masa depan.
4. Desa Demokratis dan Partisipatif
BPD dan masyarakat harus menjadi pengontrol kekuasaan kepala desa. Regulasi baru memberi ruang, tetapi butuh kesadaran kritis masyarakat agar desa tidak dikuasai segelintir elite.
Partisipasi warga harus dihidupkan melalui musyawarah digital (e-musyawarah), forum warga, dan kelompok masyarakat sipil.
---
4. Inspirasi: Desa sebagai Pusat Peradaban Baru
Bayangkan sebuah desa di Klaten, misalnya. Desa tersebut mengembangkan BUMDes berbasis pertanian organik yang menembus pasar ekspor. Anak muda desa membuat aplikasi lokal untuk memasarkan produk UMKM. Energi listrik sebagian besar berasal dari panel surya desa. Semua data administrasi penduduk sudah terhubung digital dengan pelayanan cepat dan transparan.
Di desa itu, budaya gotong royong masih terjaga. Tradisi slametan, gamelan, hingga pertunjukan wayang masih hidup berdampingan dengan startup teknologi. Itulah wajah “desa masa depan”: desa yang tidak meninggalkan akar tradisi, tetapi juga tidak tertinggal dalam inovasi.
---
5. Rekomendasi Kritis untuk Implementasi Regulasi Baru
Agar regulasi benar-benar berdampak, ada beberapa langkah strategis:
1. Reorientasi Dana Desa – Wajib alokasikan minimal 30% untuk kegiatan produktif dan pemberdayaan ekonomi.
2. Reformasi Kelembagaan Desa – Perkuat kapasitas BPD, perangkat desa, dan masyarakat sipil melalui pendidikan politik dan manajemen publik.
3. Digitalisasi Desa – Jadikan internet sebagai infrastruktur wajib. Negara harus menjamin akses internet murah dan merata di seluruh desa.
4. Transparansi dan Akuntabilitas – Terapkan sistem keuangan digital desa yang bisa diakses publik secara real-time.
5. Regenerasi Pemimpin Desa – Libatkan pemuda dan perempuan dalam struktur kepemimpinan. Masa depan desa hanya bisa terwujud bila ada regenerasi yang sehat.
---
Penutup
“Menggagas Desa untuk Masa Depan” bukan sekadar menulis visi indah, melainkan kerja kolektif yang mengubah cara pandang. Desa bukan objek pembangunan, melainkan subjek yang menentukan arah bangsa. Regulasi baru memberi ruang, tetapi tanpa gagasan kritis, desa hanya akan jadi birokrasi baru tanpa perubahan.
Kini, saatnya desa berdiri tegak sebagai pusat ekonomi, budaya, dan demokrasi. Masa depan Indonesia sesungguhnya ada di desa. Bila desa maju, bangsa pun akan tegak berdiri.







0 Comments:
Posting Komentar