Rabu, 29 Oktober 2025

BUKAN PURBAYA, TAPI ALLAH

 

LATIF SAFRUDDIN
OWNER DAPOER BAROKAH ONLINE
PENGIAT MEDSOS 
SEKJEN FORUM BPD
KLATEN SELATAN


Dalam hiruk-pikuk ekonomi yang terus berputar, manusia sering lupa bahwa bukan Purbaya, bukan Sri Mulyani, bukan pejabat manapun yang menentukan nasib negeri ini—melainkan Allah. Negeri ini tak akan jaya karena strategi teknokrat semata, tapi karena taatnya manusia kepada Sang Pemberi Rezeki.

Indonesia, dengan segala sumber daya alamnya yang melimpah, seharusnya menjadi negeri yang makmur. Lautnya luas, tanahnya subur, dan langitnya penuh rahmat. Namun, mengapa ekonomi kita masih sering guncang, utang menumpuk, dan ketimpangan tetap tinggi? Jawabannya bukan sekadar dalam angka APBN atau suku bunga, melainkan pada kejujuran hati para pelaku kepentingan.

Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

 “Sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (QS. Al-A’raf: 96)

Ayat ini bukan sekadar janji spiritual—ini adalah prinsip ekonomi yang sangat rasional. Keberkahan adalah stabilitas ekonomi yang muncul dari sistem yang jujur, tidak rakus, dan adil. Ketika para pemimpin, pejabat, dan pelaku ekonomi menempatkan kejujuran di atas kepentingan pribadi, maka keberkahan akan mengalir. Tapi ketika korupsi dan kolusi dijadikan budaya, maka yang lahir bukan kesejahteraan, melainkan krisis moral dan ekonomi.

Hadis Rasulullah SAW mengingatkan,

 “Tidaklah akan berkurang rezeki seseorang karena sedekah, dan tidak akan bertambah harta karena kecurangan.” (HR. Muslim)

Namun, dalam praktik ekonomi modern, banyak yang berpikir sebaliknya: menimbun harta seolah bisa memperkaya, menipu pasar seolah bisa memperbesar keuntungan. Padahal, setiap rupiah yang diperoleh dengan cara batil justru mengundang kebangkrutan ruhani dan ekonomi. Inilah mengapa kita menyaksikan begitu banyak perusahaan besar tumbang bukan karena inflasi, tapi karena hilangnya integritas.

Dalam konteks nasional, reformasi ekonomi seharusnya tidak hanya tentang insentif pajak, investasi asing, atau digitalisasi pasar, tetapi reformasi moral. Indonesia butuh lebih banyak pejabat yang takut kepada Allah, bukan hanya kepada hukum. Butuh pengusaha yang memandang laba sebagai amanah, bukan hasil tipu daya. Butuh rakyat yang bekerja bukan hanya untuk gaji, tapi untuk ibadah.

Setiap manusia sudah memiliki rezekinya masing-masing. Dalam hadis disebutkan: “Tidaklah seorang jiwa akan mati sampai ia menyempurnakan rezekinya, walau seberat zarrah.” (HR. Ibnu Majah)

Artinya, tidak perlu serakah, tidak perlu menzalimi, karena Allah sudah menakar segalanya. Rezeki bukan hasil dari kelicikan, tapi buah dari kejujuran dan kerja keras yang diridhai.

Di depan wartawan dalam wawancara pertanyaan [online]

Maka, jika Indonesia ingin bangkit dari ketimpangan, dari kemiskinan, dari krisis moral dan ekonomi—kuncinya sederhana: taat kepada Allah dan jujur dalam bekerja.

Negeri ini tidak butuh lebih banyak ahli ekonomi tanpa nurani, tapi butuh lebih banyak manusia yang sadar bahwa setiap angka dalam laporan keuangan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.

Bukan Purbaya yang menentukan rezeki negeri ini, tapi Allah.

Dan selama kita jujur, bekerja dengan niat ibadah, serta menolak praktik curang, maka janji Allah pasti nyata: “Berkah dari langit dan bumi akan diturunkan.”

0 Comments:

Posting Komentar