Kamis, 09 Oktober 2025

Regulasi Purna Tugas: Antara Keadilan dan Kepastian bagi Kepala Desa, Perangkat Desa, dan BPD


Oleh: Latif Safruddin

Forum BPD Klaten Selatan


Negara sering bicara soal keadilan sosial, tetapi kadang lupa pada para pelaksana keadilan di tingkat paling dasar: desa. Kepala Desa, perangkat, dan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) adalah pelaku utama pembangunan akar rumput. Mereka menghadapi dinamika politik, sosial, bahkan konflik horizontal yang tidak jarang lebih rumit daripada urusan di level kabupaten. Namun, ketika masa pengabdian usai, penghargaan atas jasa mereka masih sebatas wacana dan janji regulasi yang belum punya gigi.


Janji Regulasi dan Fakta di Lapangan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang Desa sudah menegaskan hak atas tunjangan purna tugas bagi Kepala Desa, perangkat desa, dan anggota BPD. Secara filosofis, pasal ini adalah bentuk penghargaan negara terhadap pengabdian di lini terdepan pemerintahan. Namun, pada level implementasi, janji itu masih menggantung di udara.

Hingga hari ini, belum ada Peraturan Pemerintah (PP) ataupun Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) yang secara spesifik mengatur besaran dan mekanisme pemberian tunjangan purna tugas tersebut. Akibatnya, banyak pemerintah kabupaten, termasuk Kabupaten Klaten, belum memiliki dasar hukum turunan — baik berupa Peraturan Daerah (Perda) maupun Peraturan Bupati (Perbup) — untuk mengalokasikan anggaran purna tugas secara pasti.

Beberapa desa memang berinisiatif membuat Peraturan Desa (Perdes) tentang tali asih purna tugas, namun sifatnya parsial dan bergantung pada kemampuan keuangan masing-masing desa. Ini menimbulkan ketimpangan: ada desa yang bisa memberi penghargaan, ada yang tidak sama sekali. Padahal, semangat UU Desa adalah pemerataan dan keadilan sosial di tingkat lokal.

Masalah Keadilan Struktural

Jika aparatur sipil negara (ASN) memiliki pensiun, dan anggota DPR mendapat pesangon, mengapa kepala desa dan perangkat yang bekerja penuh waktu tidak mendapatkan jaminan yang sama?

Fakta bahwa sebagian besar perangkat desa tidak memiliki status ASN menempatkan mereka di ruang abu-abu antara birokrasi formal dan tenaga kontrak. Mereka bekerja di bawah tekanan politik lokal, tapi tanpa jaminan kesejahteraan jangka panjang.


Lebih ironis lagi, banyak kepala desa justru berhenti dengan hutang pribadi akibat proyek sosial dan pembangunan yang harus didanai terlebih dahulu sebelum cairnya bantuan pemerintah. Ketika masa jabatan berakhir, penghargaan yang mereka terima hanyalah plakat, bukan kepastian finansial.

Keadilan bukan hanya tentang siapa yang bekerja keras, tapi juga tentang bagaimana negara menutup siklus pengabdian dengan layak. Regulasi purna tugas seharusnya menjadi pengakuan moral dan sosial, bukan sekadar tambahan administrasi di atas kertas.


Dampak Ekonomi dan Sosial

Ketiadaan regulasi purna tugas yang jelas berimplikasi ganda.

Pertama, secara ekonomi, desa kesulitan merencanakan keuangan jangka panjang. Anggaran purna tugas belum memiliki pos tetap dalam APBDes, sehingga rawan tumpang tindih dengan belanja wajib lainnya.

Kedua, secara sosial, muncul rasa ketidakadilan di antara pelaku pemerintahan desa. Kepala Desa yang sudah mengabdi dua periode sama sekali tidak mendapat “uang terima kasih” dari negara. Hal ini bisa melemahkan motivasi regenerasi kepemimpinan dan memicu apatisme dalam pelayanan publik.


Arah Reformasi: Dari Janji ke Kepastian

Regulasi purna tugas seharusnya tidak hanya berhenti pada level undang-undang. Pemerintah pusat harus segera menerbitkan Peraturan Pemerintah yang mengatur formula pasti — misalnya:

Tunjangan purna tugas sebesar X kali penghasilan tetap sesuai masa jabatan.

Pembiayaan bersumber dari dana transfer daerah atau dana cadangan desa.

Mekanisme pengawasan dan pelaporan untuk mencegah penyimpangan.



Di tingkat daerah, Bupati Klaten dan DPRD Kabupaten Klaten perlu berani mengambil langkah progresif dengan menyusun Peraturan Daerah (Perda) atau Perbup khusus tentang tunjangan purna tugas bagi Kades, perangkat, dan BPD. Langkah ini akan menjadi preseden baik dan bentuk keberpihakan terhadap desa.

Jika Klaten bisa mempelopori regulasi ini, maka bukan hanya kesejahteraan perangkat desa yang meningkat, tetapi juga martabat desa sebagai institusi pemerintahan terendah yang paling dekat dengan rakyat akan makin kuat.

Penutup: Desa Tidak Butuh Janji, Tapi Kepastian

Kepala Desa dan perangkatnya bukan sekadar pelaksana program, mereka adalah penopang keberlanjutan republik. Mereka menjaga harmoni sosial, menyelesaikan konflik warga, dan memastikan roda pemerintahan tetap berputar meski anggaran sering tersendat.

Sudah saatnya negara memberi mereka kepastian, bukan hanya penghargaan simbolik.

Regulasi purna tugas bukanlah soal uang semata, melainkan soal pengakuan dan keadilan bagi mereka yang mengabdi dari akar bangsa.


“Yang menjaga pintu republik di pelosok, layak dihormati bukan hanya dengan kata terima kasih — tapi dengan kepastian hidup setelah pengabdian.”




0 Comments:

Posting Komentar