Oleh: [LATIF SAFRUDDIN / SEKJEN FORUM BPD KLATEN SELATAN]
1. Segoro Ijo, Tempat Serius Tapi Tidak Usah Terlalu Serius
Pagi itu, kabut di Segoro Ijo turun perlahan seperti undangan alam untuk merenung—atau sekadar mencari sinyal. Di tengah udara dingin yang menusuk tapi menenangkan, puluhan anggota Forum BPD Klaten Selatan berkumpul. Tapi jangan bayangkan suasananya tegang seperti rapat paripurna DPRD. Ini retreat, bukan hearing anggaran.
Yang datang bukan hanya wajah-wajah yang biasa terlihat di ruang balai desa—dengan meja panjang, mikrofon yang kadang mati hidup, dan kertas notulen yang seperti saksi bisu perjuangan demokrasi desa. Kali ini, mereka hadir dengan senyum, sandal jepit, dan semangat: “Kita mau instrospeksi diri, tapi tetap ngopi!”
Karena ya, jujur saja, instrospeksi tanpa kopi itu seperti musyawarah tanpa usul: hambar.
2. BPD: Antara Idealisme dan Realita Di Lapangan
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) itu seperti mertua bagi kepala desa. Bukan musuh, tapi selalu dipantau. Kadang disalahpahami, kadang disanjung—tergantung siapa yang cerita duluan.
Fungsi BPD memang keren di atas kertas: menampung aspirasi rakyat, mengawasi pelaksanaan pembangunan, dan mengawal transparansi. Tapi di lapangan, sering kali BPD justru lebih jujur daripada buku kas desa. Mereka tahu mana yang “papan proyeknya besar tapi jalannya tetap bolong.”
Dan di situlah pentingnya retreat seperti ini. Sebuah jeda. Momen menyegarkan pikiran agar BPD tak hanya jadi “badan yang bermusyawarah,” tapi juga “badan yang bermakna.”
3. Retreat: Dari Diam Jadi Paham, Dari Paham Jadi Kompak
Retreat ini bukan sekadar wisata ke dataran tinggi. Ini semacam service rutin spiritual dan kelembagaan. Sebab kelembagaan desa sering rusak bukan karena korupsi, tapi karena miskomunikasi.
Dan lucunya, miskomunikasi itu biasanya terjadi bukan karena beda pandangan, tapi karena baperan.
Makanya, di Segoro Ijo, suasananya dibuat cair. Tidak ada meja bundar, tidak ada mikrofon, tidak ada notulen yang duduk paling depan dengan wajah cemas. Semua duduk di tikar, di bawah pepohonan pinus, mendengarkan cerita, tawa, dan refleksi diri.
Ada yang bercerita tentang suka duka jadi anggota BPD:
> “Kadang kalau kita usul, dianggap nyinyir. Tapi kalau diam, dianggap tidak berfungsi.”
Ya begitulah hidup—serba salah. Tapi di situlah seninya jadi BPD: bagaimana tetap tegas tanpa dianggap keras, tetap lembut tanpa dianggap lemah.
4. Provokasi Sehat: Kelembagaan Kuat Butuh Orang yang Mau Dengar
Saya memprovokasi peserta dengan kalimat pembuka yang bikin mereka sedikit melongo:
> “Kalau BPD itu benar-benar kompak, kepala desa akan lebih sering tersenyum. Tapi kalau BPD-nya rebutan kursi, ya kepala desa bisa senyum—tapi sinis.”
Suasana hening. Lalu tawa pecah.
Provokasi yang tepat bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk menggugah. Karena dalam dunia desa, kadang yang paling sulit bukan membuat program, tapi menjaga kepercayaan.
Kelembagaan yang kuat lahir bukan dari banyaknya aturan, tapi dari banyaknya ketulusan.
Dan di sinilah letak paradoksnya: banyak lembaga desa yang punya struktur lengkap, tapi isinya kurang berjiwa. Maka tugas retreat ini bukan sekadar memperkuat struktur, tapi menumbuhkan ruh kelembagaan—semangat gotong royong, kejujuran, dan keikhlasan dalam melayani masyarakat.
5. Dari Segoro Ijo Menuju Desa yang Lebih “Waras”
Kata orang, perjalanan itu bukan soal sejauh apa kita melangkah, tapi seberapa dalam kita merenung. Di Segoro Ijo, banyak yang menemukan dirinya kembali:
Yang tadinya sibuk berdebat soal APBDes, kini belajar tertawa bersama.
Yang tadinya curiga pada perangkat, kini saling menepuk bahu.
Sebab ternyata, yang membuat lembaga desa kuat bukan dokumen peraturan, tapi hubungan manusia di dalamnya.
Dan hubungan itu tumbuh dari hal sederhana: ngobrol tanpa agenda, mendengar tanpa prasangka.
Saya bilang ke peserta:
> “Kita sering rapat berjam-jam membahas pembangunan fisik. Tapi kapan terakhir kita membahas pembangunan mental?”
Semua terdiam. Lalu ada yang menjawab pelan:
> “Mungkin baru hari ini, Pak.”
Itu artinya, retreat ini berhasil—setidaknya membuat orang berpikir.
6. BPD dan Humor Desa
Lucunya, dalam banyak sesi, justru yang paling seriuslah yang paling lucu.
Misalnya, saat sesi refleksi kelembagaan, seorang anggota BPD nyeletuk:
> “Kalau BPD terlalu banyak aturan, nanti malah mirip RT—banyak rapat, hasilnya tetap makan gorengan!”
Tawa pun pecah. Tapi di balik tawa itu, ada kejujuran.
Bahwa dalam sistem desa, kita sering lupa: semangatnya bukan birokrasi, tapi gotong royong.
Dan gotong royong tidak butuh surat keputusan. Cukup niat dan keikhlasan.
7. Menutup dengan Harapan (dan Sedikit Sindiran Manis)
Sebelum acara berakhir, saya menutup dengan kalimat yang agak manis tapi menggigit:
> “Kalau setelah pulang dari Segoro Ijo ini kalian tetap suka debat tapi tidak mau mendengar, berarti bukan kelembagaan yang rusak — tapi sinyal hati yang lemah.”
Semua tertawa lagi. Tapi saya tahu, di balik tawa itu ada renungan.
Karena memang, mengubah desa tidak selalu butuh proyek. Kadang cukup dengan mengubah cara berpikir dan cara merasa.
Dan semoga, setelah retreat ini, Forum BPD Klaten Selatan pulang dengan semangat baru — bukan hanya semangat selfie, tapi semangat membangun.
Penutup: Segoro Ijo, Saksi Diam yang Hijau
Di akhir perjalanan, saat matahari menembus kabut tipis, saya sempat berpikir: “Kalau saja setiap konflik di desa bisa diselesaikan di tempat seindah ini, mungkin Indonesia sudah jadi negara maju.”
Tapi tentu saja tidak bisa. Karena kemajuan desa bukan ditentukan oleh sejuknya udara, tapi hangatnya kebersamaan.
Segoro Ijo telah mengajarkan satu hal sederhana:
> “Kebersamaan itu tidak bisa dianggarkan, tapi bisa diperjuangkan.”
Dan di situlah makna sejati dari retreat Forum BPD Klaten Selatan — dari sini kita belajar bahwa menjadi lembaga yang kuat bukan soal siapa yang berkuasa, tapi siapa yang paling tulus menjaga desa.
🟢 Catatan Penulis:
Jika setiap BPD punya waktu untuk retreat seperti ini—merenung, bercanda, dan menyusun ulang semangat kebersamaan—maka desa-desa di Klaten Selatan bukan hanya kuat secara administrasi, tapi juga hangat secara manusiawi.
Karena pada akhirnya, lembaga desa hanyalah wadah. Isinya, ya kita semua: manusia yang kadang salah, tapi selalu bisa diperbaiki—asal mau tertawa bersama.










.jpg)








0 Comments:
Posting Komentar