Kamis, 16 Oktober 2025

APBDes Perubahan — Antara Kewenangan dan Akuntabilitas

LATIF SAFRUDDIN
SEKJEN FORUM BPD KLATEN SELATAN



Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) bukan sekadar penyesuaian angka. Ia adalah refleksi dinamika pembangunan desa yang bergerak cepat, penuh tantangan, dan sarat kepentingan. Di atas kertas, APBDes Perubahan adalah instrumen legal yang diatur secara jelas dalam Permendagri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Namun di lapangan, sering kali perubahan ini menjadi ladang tafsir, bahkan celah kompromi, antara kebutuhan riil warga dan kepentingan politik lokal.

Landasan Regulasi yang Tegas
Regulasi tentang perubahan APBDes bersandar pada beberapa aturan utama:
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, khususnya Pasal 72 dan 74, yang menegaskan desa berhak mengelola keuangannya secara mandiri.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 juncto PP Nomor 47 Tahun 2015, yang menjabarkan pelaksanaan kewenangan desa.
3. Permendagri Nomor 20 Tahun 2018, Pasal 40-44, yang mengatur bahwa APBDes dapat diubah apabila terjadi:
perkembangan yang tidak sesuai dengan perencanaan,
keadaan darurat, atau
penyesuaian kebijakan pemerintah yang lebih tinggi.
Artinya, APBDes Perubahan bukan ruang bebas bermain anggaran. Ia tunduk pada kaidah hukum yang menuntut transparansi, rasionalitas, dan partisipasi publik.
Birokrasi yang Menguji Integritas
Masalahnya, banyak pemerintah desa masih memperlakukan perubahan APBDes sekadar formalitas administrasi: rapat kilat, notulen seadanya, dan tanda tangan BPD yang sering tanpa debat substansial. Padahal, perubahan anggaran semestinya menjadi momentum evaluasi kebijakan — apakah program yang direncanakan masih relevan, efektif, dan berpihak pada warga?

Dalam praktiknya, justru sering muncul ketidaksinkronan antara musyawarah desa (musdes) dengan nota perubahan anggaran. Tak jarang, kegiatan baru “muncul” tanpa akar perencanaan yang jelas, seolah lahir tiba-tiba dari ruang rapat kepala desa. Di sinilah regulasi diuji: apakah desa menjalankan prinsip good governance atau sekadar menggugurkan kewajiban prosedural?

BPD: Antara Pengawasan dan Formalitas
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) memiliki peran vital dalam menyetujui perubahan APBDes. Namun, dalam banyak kasus, fungsi pengawasan BPD justru terjebak dalam relasi sosial yang canggung — antara menjaga harmoni dengan kepala desa dan menjalankan tugas kontrol yang kritis.

Padahal, Permendagri 110 Tahun 2016 tentang BPD menegaskan bahwa lembaga ini berwenang menyepakati dan mengawasi pelaksanaan APBDes. Tanpa sikap independen BPD, perubahan anggaran mudah tergelincir menjadi “perubahan demi kepentingan,” bukan demi kemajuan desa.

Transparansi Sebagai Nafas Akuntabilitas
Pemerintah desa seharusnya melihat perubahan APBDes bukan sebagai beban, tapi sebagai kesempatan untuk memperkuat legitimasi publik. Setiap revisi anggaran mesti diumumkan secara terbuka — melalui papan informasi, media sosial desa, atau forum warga.
Keberanian membuka data adalah tanda bahwa desa siap dikritik, siap diawasi, dan siap tumbuh dewasa dalam tata kelola keuangan.

Refleksi Penutup
Regulasi sudah lengkap. Instrumen hukum sudah tersedia. Yang sering hilang adalah itikad baik. Desa yang berani jujur dalam menyusun APBDes Perubahan sedang membangun masa depan yang berkelanjutan. Sebaliknya, desa yang menutup-nutupi anggaran, sebenarnya sedang menutup ruang kepercayaannya sendiri.

APBDes Perubahan bukan sekadar dokumen revisi. Ia adalah cermin karakter pemerintahan desa: apakah ia berpihak pada rakyat, atau pada kepentingan yang sesaat.

Kalimat kunci:

“Di balik angka-angka APBDes Perubahan, tersimpan cermin moral: seberapa tulus desa mengelola uang rakyat untuk kesejahteraan bersama.”

0 Comments:

Posting Komentar