![]() |
| LATIF SAFRUDDIN SEKJEN FORUM BPD KLATEN SELATAN OWNER DAPOER BAROKAH DAN SERBA ES KULINER ONLINE |
MBG — Apa Kabar?
Opini singkat tentang sejarah, anggaran, regulasi, dan masalah (korupsi & keracunan) yang mengitarinya.
1. Sejarah singkat dan tujuan
Gagasan program Makan Bergizi Gratis (MBG) muncul lama—disebut-sebut kembali dalam wacana sejak era kampanye—dan mulai dijalankan skala nasional pada Januari 2025 sebagai upaya pemerintah menurunkan stunting dan memperbaiki status gizi anak, ibu hamil, dan menyusui. Program ini dirancang menjangkau puluhan juta penerima dan dianggap sebagai program sosial berskala terbesar untuk pemenuhan gizi.
2. Anggaran dan skema pelaksanaan
Tahap awal MBG direncanakan dengan besaran anggaran besar (angka yang sering dikutip: sekitar Rp71 triliun pada 2025 untuk program dan dukungan manajemen), serta skema penyaluran melalui “dapur” atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang memproduksi ratusan sampai ribuan porsi per hari. Ada beberapa skema pelaksanaan yang dipublikasikan pemerintah untuk menyalurkan bantuan ini.
3. Regulasi & tata kelola
Program ditempatkan dalam rangka kebijakan nasional pemenuhan gizi dan melibatkan Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai salah satu pelaksana/pengendali. Pemerintah mengeluarkan aturan pelaksanaan (termohonkan: Perpres dan pedoman teknis) yang mengatur target penerima, mekanisme pembayaran, serta peran mitra pelaksana. Namun analisis publik menunjukkan bahwa pedoman operasional dan mekanisme pengawasan belum sepenuhnya matang untuk skala sebesar ini.
4. Risiko korupsi — dugaan dan temuan kelemahan tata kelola
Banyak lembaga pengawas dan LSM mengingatkan tingginya risiko korupsi pada MBG karena besarnya anggaran, rantai pengadaan yang panjang, dan mekanisme pelibatan mitra ekstensif. Laporan dan analisis dari Transparency International Indonesia, ICW, dan kajian kebijakan menyoroti celah: pengadaan barang/jasa, pembayaran via pihak ketiga, laporan pertanggungjawaban yang rawan fiktif, serta pengawasan yang belum seragam di daerah. Karena itu LSM mendesak perbaikan tata kelola dan bahkan moratorium sampai mitigasi diterapkan. Sampai saat publikasi laporan-laporan ini, banyak temuan kelemahan dan peringatan — tetapi kasus korupsi formal (penyidikan/pidana spesifik terhadap MBG) yang sudah berkekuatan hukum massif dan dipublikasikan masih lebih sedikit dibandingkan kekhawatiran yang muncul. (Catatan: pola penyalahgunaan anggaran bantuan sosial sebelumnya — mis. kasus Covid-19 yang melibatkan penyimpangan— dipakai sebagai peringatan nyata).
5. Kasus keracunan — angka dan kronologi singkat
Yang paling mengoyak kepercayaan publik adalah gelombang kasus keracunan yang melibatkan ribuan anak: laporan internasional dan nasional menyebut kejadian besar pada 2025 yang mempengaruhi beberapa provinsi (termasuk insiden besar di Jawa Barat), dengan laporan korban keracunan mencapai ribuan anak dan total kasus yang dilaporkan ke pemerintah mencapai beberapa ribu—angka yang berbeda antar sumber, namun satu laporan menyebut sekitar 5.000–6.400 kasus di berbagai daerah. Pemerintah/agensi terkait kemudian mengakui ada kekurangan pengawasan pada dapur pelaksana (SPPG), menemukan praktik kebersihan dan pengolahan yang tidak konsisten, serta menutup puluhan dapur yang dinilai substandar. Pemeriksaan laboratorium dan proses penyelidikan dijanjikan. Insiden ini memicu desakan dari organisasi kesehatan anak untuk pengawasan lebih ketat atau penangguhan sementara program di wilayah terdampak.
6. Apa makna semua ini — opini singkat
MBG, secara konseptual, adalah tujuan yang patut — memperbaiki gizi anak dan ibu adalah investasi bangsa. Namun dua syarat fundamental harus dipenuhi sebelum atau selagi program berjalan skala besar:
Tata kelola yang ketat dan transparan. Anggaran besar + banyak mitra = celah korupsi; harus ada audit real time, pengawasan independen, data penerima terbuka, dan mekanisme pelaporan/penindakan cepat bila ditemukan penyimpangan. Lembaga antikorupsi dan auditor eksternal wajib dilibatkan.
Standar keamanan pangan dan kapasitas pengawasan lokal. Pengadaan makanan untuk puluhan juta porsi menuntut SOP mutu & higiene yang sangat ketat, sertifikasi dapur, pengujian sampel berkala, dan keterlibatan Puskesmas/UKS serta dinas kesehatan setempat dalam pemantauan. Kasus keracunan menunjukkan program berjalan lebih cepat daripada kapasitas pengawasan di lapangan.
Kalau kedua syarat itu tidak dipenuhi, dampak negatif (korupsi, keracunan, rusaknya kredibilitas kebijakan publik) bisa mengalahkan manfaatnya. Di sisi lain, menangguhkan program total juga membawa risiko gizi jika tidak dibarengi solusi sementara yang memadai — karenanya opsi terbaik adalah peningkatan bertahap dengan pilot yang transparan, audit publik berkala, dan pembekalan kapasitas daerah.
7. Rekomendasi singkat (prioritas tindakan sekarang):
1. Hentikan sementara dapur/SPPG yang tidak memenuhi standar sampai sertifikasi higienis selesai. (sudah dilakukan sebagian).
2. Buka data publik penggunaan anggaran, daftar mitra, dan laporan kualitas makanan sehingga publik & LSM dapat mengawasi.
3. Libatkan BPK, KPK (atau unit pengawas independen), dan audit eksternal untuk memeriksa potensi penyalahgunaan anggaran.
4. Fokus pada pelatihan keamanan pangan dan sertifikasi SPPG serta integrasi puskesmas/UKS ke dalam sistem monitoring.
MBG bisa menjadi tonggak kebijakan sosial yang luar biasa — jika dijalankan dengan tata kelola dan standar teknis yang tak tergoyahkan. Tanpa itu, kita menghadapi dua ancaman: uang publik yang bocor dan anak-anak yang dirugikan secara langsung. Pemerintah harus membuktikan bahwa niat baiknya dapat diikuti oleh kompetensi pelaksanaan. Publik berhak menagih bukti itu sekarang juga.
Pembaruan Terbaru di Jawa Tengah
Wilayah / Lokasi Tanggal / Waktu Terbaru Jumlah Korban / Kasus Catatan & Sumber
Rembang (SMPN 1 Kragan, Rembang) 4 hari lalu ± 173 siswa Diduga keracunan setelah menyantap menu MBG “mi & ayam melon”.
Sragen (Gemolong / SPPG Gemolong-1 / Gemolong kawasan) Agustus 2025 365 orang (siswa, guru, karyawan, keluarga) Hasil lab menunjukkan masalah sanitasi & higiene di dapur SPPG.
Sleman (Kapanewon Mlati, DIY tapi dekat Jateng perbatasan) Agustus 2025 113 dirawat di Puskesmas, 19 dirawat inap, total korban di beberapa SMP mencapai 212 siswa Dinkes Sleman mengonfirmasi beberapa sekolah SMP di Mlati terdampak.
Klaten & Wonogiri 10–12 September 2025 ~ 105 siswa di Klaten, ~ 110 siswa di SMAN 2 Wonogiri Kesalahan prosedur memasak (memasak sebagian sebelumnya / setengah matang) diduga jadi faktor.
Banyumas (Kecamatan Karanglewas, Kabupaten Banyumas, Jateng) 23–24 September 2025 ± 115 siswa lebih melaporkan gejala keracunan Dapur SPPG Karanglewas Kidul diduga bermasalah; pemilik dapur menyatakan makanan tidak boleh dibawa pulang.
Kebumen September 2025 (terkini) 157 orang Korban mual, muntah, pusing; Puskesmas Petanahan menyebut angka tersebut.
Jepara (Desa Srikandang, Banjaran, Kecamatan Bangsri) 23 September 2025 ± 35 siswa Gejala: mual, muntah, lemas. Sampel menu MBG sedang diuji laboratorium.
Salatiga (MAN Salatiga) Beberapa hari lalu 7 siswa Diduga keracunan menu MBG; Dinkes akan uji sampel makanan.
Statistik & Tren di Jawa Tengah
Menurut laporan Media Indonesia, hingga 28 September 2025, jumlah korban keracunan MBG di Jawa Tengah mencapai 1.017 orang sejak awal program MBG berjalan.
Distribusi korban per kabupaten (sebagian) yang dilaporkan:
Kebumen: 157
Banyumas: 100
Rembang: 187
Sragen: 365
Karanganyar: 9
Sukoharjo: 40
Batang: 28
Wonogiri: 131
Di daerah-daerah Jateng, beberapa kasus keracunan baru juga dilaporkan, seperti di Rembang dan Jepara (walaupun Jepara berada di tepi wilayah Jateng).
Beberapa kasus baru muncul di klaten dan Wonogiri (September 2025) terkait praktek “memasak sebagian bahan sebelumnya / setengah matang” yang disoroti oleh tim percepatan MBG Jateng.
Pemerintah pusat telah merespons dengan kebijakan: menutup sementara SPPG yang bermasalah untuk evaluasi dan investigasi.
Analisis & Catatan Penting
1. Kumulatif korban meningkat dan tersebar merata. Angka ~1.017 korban di Jateng menunjukkan kejadian bukan kasus tunggal di satu kabupaten saja.
2. Faktor prosedur dan sanitasi sering muncul sebagai penyebab. Banyak laporan hasil lab atau temuan lokal menyebut sanitasi dapur, kebersihan alat & lingkungan, serta metode memasak (misalnya memasak sebagian sebelumnya) sebagai poin kritis.
3. Distribusi makanan yang “dibawa pulang” menjadi variabel risiko tambahan. Kasus Banyumas, pemilik dapur menyebut makanan dibawa pulang jadi potensi kerusakan makanan.
4. Respons pemerintah semakin kuat. Penutupan sementara dapur SPPG bermasalah, evaluasi menyeluruh SPPG, pengawasan tambahan—ini langkah yang diambil sebagai reaksi terhadap gelombang kasus.
5. Kasus baru tetap muncul secara reguler. Contohnya di Rembang (baru-baru ini), dan Jepara yang baru dilaporkan — ini menunjukkan bahwa meskipun upaya mitigasi dilakukan, risiko belum teratasi sepenuhnya.







0 Comments:
Posting Komentar